makalah ittiba' dan taqlid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan
menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam
mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan
hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan
dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah taklid dan ittiba’. Keduanya memiliki arti yang berbeda
dan maksudnya pun berbeda. Namun
tidak jarang kita temukan dalam pengaplikasiannya di masyarakat muslim masih
dicampur adukan antara taqlid dan ittiba’.
Oleh karena itu penting kiranya dalam makalah ini
penulis uraikan kembali hal-hal yang berkenaan dengan ittiba’ dan taqlid sebagai
langkah awal menuju muslim sejati sesuai
dengan perintah rasulallah r.
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana
pengertian, dasar hukum dan pandangan ulama’ tentang Ittiba’?
2. Bagaimana pengertian, macam-macam serta hukumnya dan
syarat-syarat Taqlid?
C. Tujuan masalah.
Tujuan dari
makalah ini yang pertama yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangsi pemahaman
kepada para pembaca dalam masalah ittiba’ dan taqlid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ITTIBA’
1. Pengetian Ittiba.
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima
ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik
dalil itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.
Imam Ahmad dalam
mendifinisikan ittiba’ berkata:
الاتباع ان يتبع الرجل ماجاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه ثم من ھو
من التابعين بخير
Artinya: ittiba’ itu
ialah kita mengikuti pendapat yang datang dari rosul r, dari para sahabat, kemudian yang datang dari tabiin
yang diberikan kebajikan.
Sedangkan menurut para
ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan
mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap
maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan
dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil
yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[1]
2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang
mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan
mengistinbatkan hukum dari padanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak di dapatkan nash-nash yang
memerintahkan agar kita ittiba’,
mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan
argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang di ikuti.[2]
Ittiba dalam agama
disuruh sebagaimana dalam firman Allah I surahAn-Nahl ayat 43 yang berbunyi:
: !$tBur $uZù=y™ö‘r& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í‘ ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya: “Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika
kamu tidak mengetahui”.[3]
Dalam ayat diatas terdapat kalimat “bertanyalah”, yaitu menunjukkan
wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban
kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang
lain-lain. Rasulullah r juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah
Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).
Kata ittiba’ ini
penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran
sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan
disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada
ayahnya dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi:
ÏMtr'¯»tƒ ’ÎoTÎ) ô‰s% ’ÎTuä!%y` šÆÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB öNs9 y7Ï?ù'tƒ ûÓÍ_÷èÎ7¨?$$sù x8ω÷dr& $WÛºuŽÅÀ $wƒÈqy™ ÇÍÌÈ
Artinya: “ Wahai
bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang
tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus”.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk
mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang
saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT
berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
#y‰y`uqsù #Y‰ö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu‘ ô`ÏiB $tRωZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ tA$s% ¼çms9 4Óy›qãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #’n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Y‰ô©â‘ ÇÏÏÈ
Artinya: “Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.[4]
Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
Musa telah memohon
kepada Khidhr u agar di izinkan untuk
mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang
yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah U yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada
hadis dari Nabi r, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau
tidak dilarang.
3.
Pendapat
Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan
bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau
dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan
mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang
diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan
Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan
janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama
dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam
Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat
lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul
anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya:
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.
Yang dimaksud
dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu
adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang
disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung
dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan
berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan
seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan
sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang
yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum
muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh
keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan
penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang
diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’
yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk
mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata
lain, ittiba’ tidak harus di lakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama.
Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti
ulama B.[5]
B. TAQLID
1. Pengertian Taqlid
Taqlid menurut ahli
bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah”
(kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada
orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid,
dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari
seorang mujtahid.[6]
Menurut istilah agama,
taqlid yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu
hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya.
Orang yang menerima cara
tersebut disebut muqallid.[7]
Menurut imam Al ghazali
dalam al mustashfa menerangkan bahwa:
التقليد قبول قول بغير حجة وليس طريقا للعلم لافي الاصول ولافي الفروع
Artnya: taqlid adalah
menerima perkataan tampa hujjah dan tiadalah taqlid itu menjadi jalan kepada
pengetahuan (keyakinan), baik urusan ushul maupun dalam usrusan furu’.
Dan juga menurut abu
syam, guru annawawi seorang ulama’ terkenal dengan madzhab syafi’i dalam kitab
al muammal dikatakan:
والتقليد لغير الرسول صلى الله عليه وسلم حرام
Mengenai berbagai
pertanyaan yang terjadi dikalangan umat muslim mengenai bagaimana kalau yang
diambil atau yang diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau pendapat,
maka Al- Mahalli yang
mensyarah kitab jam’ul al-jawami’ menjelaskan bahwa menerima atau
mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengalaman tidak
dikatakan taqlid. Dan juga menegenai suatu hal dalam penerimaannya ada
hujjahnya atau mengetahui dalilnya maka cara tersebut tidak dikatakan taqlid
dengan alasan merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan
yang di ikutinya.
Ibnu al-Hummam (dari
kalangan ulama’ hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan
kesamaran yaitu beramal dengan pedapat seseorang yang pendapatnya itu bukan
merupakan hujjah dan tampa mengetahui hujjahnya. Sehubungan dengan definisi ini
maka menerima pendapat nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya begitu juga
menerima pendapat yang lahir deri kesepakatan dalam ijma’ tidak disebut taqlid
meskipun dalam penerimaannya tampa mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat
pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang
mengikuti pendapat mujtahid tampa menegetahi dalilnya disebut taqlid.
b. Macam-macam taqlid serta hukumnya.
Mengenai hukum taqlid
itu mutlak batal bahkan menurut Ibnu Haz terlarangnya taqlid itu sudah ijma’
ulama’. Mereka bersandaran ayat alqur’an surat Al-isyra’ ayat 36.
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”[9]
Namun meski
begitu dalam pengaplikasikannya terbagi kepada tiga macam, yaitu taqlid yang di
perbolehkan dengan syarat, taqlid yang dilarang atau haram dan taqlid yang
diwajibkan, yaitu sebagai berikut:
1)
Taqlid yang diperbolehkan atau mubah.
Taqlid yang
diperbolehkan atau mubah yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai
pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat atau hanya
terbatas pada masalah furu’iyah, sedangkan dalam masalah usuluddin kebanyakan
uamak berpendapat tidak boleh bertaqlid hal ini dikuatkan oleh Al-razi dengan
dalilnya surat muhammad ayat sebagai berikut:
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# öu ......
Artinya: “Maka
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan / Tuhan) selain
Allah....”
Ayat ini menerangkan
bahwa wajib mengetahui Allah. Dalam artian mengetahui kepada keyakinan dan itu
hanya dapat diketahui dengan ilmu oleh sebab itu maka menurut Al-razi harus
mengetahui dalilnya.
Meskipun taqlid jenis ini diperbolehkan namun hal itu tidak berlaku
bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an-nazhr atau
tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu
bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak
memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk
menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan
qiyas.
2)
Taqlid yang dilarang atau haram.
Taqlid yang dilarang
atau haram yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji
hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
a) Taqlid buta (tidak mau
memperdulikan ayat tuhan lantaran orang tua.
Taqlid buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa
memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau
masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan
Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAt“Rr& ª!$# (#qä9$s% ö@t ßìÎ6®KtR !$tB $uZø‹xÿø9r& Ïmø‹n=tã !$tRuä!$t#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«ø‹x© Ÿwur tbr߉tGôgtƒ ÇÊÐÉÈ
Artinya : dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk".
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid
yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.
b) Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau
tidak tentang suatu hal yang kita ikuti.
c) Taqlid terhadap
seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita
taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan
al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul
mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.[10]
3) Taqlid yang diwajibkan.
Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya
kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada RasulNya.
Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya
kecuali ittiba` kepadanya.
Dalil untuk bertanya kepada ahli ilmu adalah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang
artinya “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama’) jika
kamu tidak mengetahui”.
c. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat
taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan
syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
1) Syarat-syarat orang yang bertaqlid.
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain
yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang
pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad
sendiri kalau baginya masih cukup.
Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk
mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat
ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2) Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan
syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti
mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga
hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal,
dan setiap orang mempunyai akal.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. ITTIBA.
a.
Pengertian
Ittiba’
adalah mengambil atau menerima
perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak
terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan
yang dianggap lebih
kuat dengan jalan membanding.
b.
Hukum
Ittiba’
Hukum ittiba’ adalah Wajib
bagi setiap muslim,
c. Pendapat
Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan
bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang di perintahkan atau di larang
atau di benarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti
pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1). Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan
2). Ittiba’ kepada selain Allah dan
Rasul-Nya.
2. TAQLID.
Taqlid Menurut istilah
agama, yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu
hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya serta dalil-dalilnya.
a. Macam-macam taqlid.
1) Taqlid yang diperbolehkan
atau mubah.
2) Taqlid yang dilarang atau haram.
Ø
Taqlid buta (tidak mau
memperdulikan alqur’an lantaran orang tua.
Ø
Taqlid terhadap
orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu
hal yang kita ikuti.
Ø
Taqlid terhadap
seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita
taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan
al-Quran dan Hadis.
3) Taqlid yang diwajibkan.
b. Syarat-Syarat Taqlid.
1) Syarat-syarat orang yang bertaqlid.
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara dan orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri
hukum-hukum syara namun waktunya sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka
menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2) Syarat-syarat yang di taqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan
syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qordahawi, Yusuf. Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman & Muhtadi Abdul Munim. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Arifin, Miftahul & Ahmad Faisal Haq. Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam. Surabaya : Citra Media, 1997.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Djalil, A. Basiq, Ilmu
Ushul Fiqih. Jakarta: kencana, 2010.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan
Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.
Hanafi, Imam. Pengantar
Ushul Fiqh dan Ilmu fiqh. Pamekasan: STAIN Pamekasan,
2014.
Koto,
Alaiddin. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2011.
Rosyada, Dede. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta : Logos, 1999.
Umam, Khairul & A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqih II. Bandung : Pustaka Setia,2001.
[2] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum
Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm., 164.
[4] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud
dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan
ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan
ayat-ayat berikut.
[6] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul
Tsani Fathurrahman & Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2003),
hlm. 87.
hlm. 61.
[10] Khairul Umam dan
A. Achyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung :
Pustaka Setia,2001), hlm., 155.
Komentar
Posting Komentar